Buku Puisi “Sauk Seloko”

Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VI – Jambi, 2012

Sampai tengah malam, 28 Desember 2012, saya baru tahu kalau buku puisi ini tercampur bersama bahan-bahan keperluan selama acara dalam sebuah map besar yang dibagikan panitia sejak registrasi kedatangan di lobi hotel. Padahal, saya sudah registrasi sejak pukul 10 pagi karena tiba di Jambi dengan penerbangan pertama dari Jakarta.

Saya lalu tidak sabar membuka buku setebal 400 halaman lebih ini. Secara acak saya buka di bagian tengah tanpa memulai dari halaman pertama. Dua kali saya lakukan ini dengan sedikit mengintip isi puisinya. Dalam dua kali itu saya terpekik: “ASTAGA!!”. Dua puisi yang sempat terintip di bait-bait awalnya telah menyergap kekaguman saya. Puisinya keren-keren! Apa kabar dengan puisi saya? Gumam saya dalam hati.

Ada empat puisi yang saya kirimkan untuk PPN VI ini. Saya sempat menyerah tidak ikut serta karena baru tersadar di hari yang sama dengan tenggat pengiriman, 5 September 2012. Akhirnya 4 puisi saya itu terkirim tiga puluh menit sebelum tenggat, setelah tiga puluh menit sebelumnya panik membongkar koleksi yang cocok dengan tema: “Nusantara dalam Perspektif Historis, Filosofis, dan Eksistensial”. Jujur, tema ini membuat saya tercengang, atau tepatnya melongo! Dari maksimal 5 puisi, saya hanya sanggup mengirim 4 puisi yang saya ‘curiga’ mendekati tema.
Sebuah puisi hasil perjalanan saya di Ternate akhirnya berhasil menjadi tiket undangan ke PPN VI di Jambi. Menjadi salah satu undangan di 213 undangan, dari 600 penyair, lalu menjadi salah satu di 300 puisi di Sauk Seloko ini, dari rimba 3.000 puisi yang dikuratori oleh Acep Zamzam Noor, Dimas Arika Mihardja, dan Gus tf. Puisi ini saya tulis beberapa minggu sebelum erupsi kecil Gamalama, September 2012.

di kaki Gamalama

di kakimu kota melingkari peradabannya
engkau sebenar-benarnya julang Ibu
apa yang kau jaga adalah amarahmu
demi melihat anak-anakmu
saling melempar batu di malam takbiran
: melukai jalan-jalan
: melukai kakimu

harusnya mereka ingat bagaimana Batu Angus berprasasti
tentang buncah amarah yang membatu dari api
: bisikmu pada angin, lalu langit mengangguk
waktu telah melipat cerita tentangmu yang ibu
namun waktu takkan sanggup menebak amarahmu

(Ternate, Agustus 2012)

Mungkin dari sekian penyair undangan, sayalah yang belum punya buku puisi satu pun. Fakta ini membuat saya memposisikan diri sebagai ‘anak bawang’ yang beruntung berada satu buku dengan para maestro yang sudah punya nama besar di jagat puisi, seperti; Afrizal Malna, Ahda Imran, Ahmadun Yosi Herfanda, Alex R. Nainggolan, Ali Syamsudin Arsi, Anwar Putra Bayu, Arsyad Indradi, Asa Jatmiko, Bambang Widiatmoko, Beni Setia, Boedi Ismanto, Diah Hadaning, Dinullah Rayes, Dorothea Rosa Herliany, Iman Budhi Santosa, Isbedy Stiawan ZS, Iyut Fitra, Joko pinurbo, Jumari HS, Nanang Suryadi, Raudal Tanjung Banua, Sihar Ramses Simatupang, Sindu Putra, Soni Farid Maulana, Thomas Budi Santoso, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widijanto, Toto St Radik, dan Warih Wisatsana. Jadi, Sauk Seloko adalah buku puisi pertama saya! 🙂
Sebagai anak bawang yang belum kenal dengan banyak penyair, saya lalu mengenali mereka lebih dekat lewat Sauk Seloko ini. Jika saya merasa puisi saya tidak sekaliber mereka, ternyata ada saja yang merasakan hal yang sama. Sewaktu dalam perjalanan menuju Kompleks Candi Muaro Jambi di hari kedua, saya duduk di samping Wachyu Pras, sahabat penyair yang mewakili Jawa Tengah. Katanya, “Saya heran, puisi saya kok bisa tembus, ya?!” Akhirnya saya mengintip puisi pendeknya yang menurut saya tidak ada yang aneh:

Postmortem

bumi, pijakku sangsai
langit, gayuhku tak gapai
semesta merasuk jiwa
tak pijak, tak mencapai
tak jua
apa saja
hanya mencipta:
jejak puisi
di luruhnya

(Bogowonto, jkt-pwt, 2012)

Ada lagi puisi yang pada 4 bait pertamanya saja sudah membuat saya tak sanggup melanjutkan keterpukauan saya atas keindahannya. Puisi itu datang dari penyair Banten teman sekamar saya, Assyafa Jelata. Empat bait itu saya cuplik ke sini:

Paradoksitas

Alangkah kayanya negeri ini dengan orang miskin
Hingga kita kenyang melihat kelaparan
Dan belajarlah engkau membeli hutang
Agar tak merasa mati pada kehidupan

Saya mengenang perkenalan yang hangat dengan banyak penyair di pertemuan itu lewat puisi mereka di buku ini. Beberapa akan saya cuplik di sini adalah bait-bait yang mencuri hati saya seperti mereka mencuri kerinduan saya akan pertemuan itu.

Penari dan Peniup Seruling – Ahda Imran

Aku menemukanmu sebagai daging—
anak seorang Jauhari yang malang. Leluhur
kesedihan yang dibuang ke dalam kata-kata
seperti hermes, topi dan sandalmu bersayap
Penafsir musim, penguasa perbatasan.

Kembali ke Hakikat – Arsyad Indradi

 Aku terus berlari ke puncak tubuhmu
Adakah pelangi di langit atau cuma gemawan
Tubuh tidak lagi tubuh di atas ranjang
Lakilaki kehilangan lakilaki

 Elegi Buata – Arther Panther Olii

Pagi buta mereka pergi mencuci mimpi
Ke hulu sungai yang kering sepanjang tahun
Belum terjadi angin bawa kabar rinci
Tentang aroma kota yang ranum oleh perubahan
Konon, mereka adalah penjaga tapal batas
Orang-orang yang merajut cahaya hingga tuntas

Berapa Jam Sudah – Esha Tegar Putra

Aku ingin kasmaran yang lain,
dingin yang lebih dai terumbu di laut dalam.

Menuju 00.00 – Isbedy Stiawan ZS

panggil aku sunyi
aku datang bawa pagi
panggil aku hening
aku datang bersama sepi

Janji Sinuwun – Lailatul Kiptiyah

Aku, petani yang menanam biji-bijimu
dalam bakti tanah yang kugemburkan terlebih dulu
Lalu mengairimu dengan air mata terjauh

Bocah dan Sesuatu dalam Keranjang – Lina Kelana

Bilakah sang Tuang menatap sejenak,
–Di samping meja dan sebalik jendela—
Nama-nama sibuk mencari empunya.

Sehimpun Petuah Penopang Rumah Kita – Dalasari Pela

Di lampau yang menggenggam banyak musim
Perihalmu dikenangkan dalam
Kutuk lumut prasasti di tengah kota

“Gong Xi Fat Choi”, Buat Babah Cina yang Kesepian – Galih Pandu Adi

dewa-dewi harus segera memberkati lewat hujan
bukan lewat lapuk pelupuk matamu
yang meneteskan kemurungan

Buku ini bukan sekadar menyauk seloko melainkan menyauk berampai pertemuan yang layak saya kenang. Semoga tahun ini buku puisiku sendiri bisa terbit sesuai rencana. Kelak saya ingin dikenal dalam berpuisi-puisi.

5 thoughts on “Buku Puisi “Sauk Seloko”

Leave a comment